Berhenti jantungnya, terputus nafasnya.
Dia, cerita kita.
Hari pertama, aku tak percaya.
Dia tak mungkin pergi. Dia pasti cuma sedang melewati daerah yang susah sinyal dalam perjalanan pulang kampungnya. Sesampainya di rumah dia pasti akan mengabariku lalu sibuk bicara tentang punggungmu yang kaku setelah duduk berjam-jam, empal enak yang kamu makan di tempat perhentian saat sahur, dan pemandangan familiar yang menyambutmu di terminal. Lalu ia akan mengantar padaku lagu yang menemanimu sepanjang jalan dan foto sinar matahari yang menerobos daun-daun jati. Dia tak mungkin pergi. Dia tak mungkin pergi. Kan?
Sudah berhari-hari.
Aku memanggilnya biar kembali. Aku memanggilnya lirih, seperti bisik-bisik sayang sebelum kukecup kupingmu. Aku memanggilnya jelas, seperti cerita-ceritaku yang bertabur derai tawamu. Dia tak kembali. Aku menjerit memanggilnya, sampai parau suraku, tapi dia tidak juga kembali.
Lalu aku menangis.
Aku mengalun tangis seharian. Menatap kosong sambil berlinang air mata. Sesenggukan mendaras namamu. Menjerit marah dalam tekapan bantal. Begitu berganti-ganti. Tengah malam, habis sudah air mataku. Mengering di sudut mata yang tiap beberapa menit masih saja menatap layar ponsel, berharap namamu tiba-tiba menyala di sana. Isak-isak yang tersisa pun lelah sudah. Tertidur bersama sedih yang melubangi hati.
Mauku tidur saja terus.
Biar dia main-main di mimpiku, menjadi sosoknya yang biasa. Berat tanganmu di kepalaku. Hangat tubuhmu yang menguar saat kita duduk bersisian. Wangi yang tertinggal di jaketmu dan membuatku terlambat kuliah saat menyelimuti tidurku. Tawa kita, lagu-lagu yang kita tukar kirimkan dan nyanyikan bersama, mimpi-mimpi ragu yang kita saling yakinkan, dan segala hal di bawah matahari yang kita bicarakan berjam-jam.
Tapi waktu tidak berputar berbalik arah, bukan?
Maka ketika sudah bosan aku berguling-guling di carut-marut pecahan hati, turunlah aku dari tempat tidurku. Mandi. Mengguyur kepala dan sekujur badanku dengan air dingin. Melarung marah yang menggelegak dan sedih yang berombak. Sudahlah. Sudahi saja. "Mengapa?" memang masih tersisa tapi toh aku tak yakin mau mendengar jawabannya.
Jadi sudahi saja.
Kutabur bunga di pusara cerita kita.
Begitulah ingin kuingat dia, kelopak-kelopak cantik di atas catatan perjalananku.
Selamat jalan..
~ Ditulis setelah membaca dua 'serial' di Google Reader gw, diiringi Resah - Payung Teduh
Don't be sad coz it's over,
be happy coz it happened :)
2 komentar dari orang baik :):
Aaaaah Cune :'(
ya ri? hehe..
Post a Comment