Mentari bernyala di sini
Di sini di dalam hatiku
Gemuruh apinya di sini
Di sini di urat darahku
Meskipun tembok yang tinggi mengurungku
Berlapis pagar duri sekitarku
Tak satu pun yang sanggup menghalangimu
Bernyala di dalam hatiku
Hari ini hari milikku
Juga esok masih terbentang
Dan mentari kan tetap bernyala
Di sini di urat darahku
(Mentari - Iwan Abdulrachman)
Saya jarang banget mengakui hal ini
Oke, saya mulai nggak fokus. Kebiasaan -_-"
Sampe mana tadi? Oh. Saya nggak terlalu suka anak kecil.
Iya, saya nggak terlalu suka anak kecil. Apalagi yang berisik dan berdiri-berdiri di kursi kereta pake sepatu dan saya curigai nggak bayar tiket. Eh kalau begini sih harusnya saya nggak sukanya sama orang tuanya ya.. Ya tapi intinya begitulah. Saya bisa langsung merasa sakit kepala mendadak kalau melihat segerombolan anak kecil yang kayaknya siap teriak-teriak dengan suara tinggi, kejar-kejaran, dorong-dorongan, terus berantem sampe nangis. Astaghfirullah.
Tapi saya nggak se-"dingin" itu kok.
Siapa yang nggak pengen senyum kalau ada anak-anak yang tingginya paling cuma sepinggang saya, berbaris rapi lalu menyalami dan membawa tangan saya ke pipinya (atau dahinya, atau hidungnya, atau bibirnya yang mengembang sampai bikin punggung tangan saya geli dan basah)? Jelas-jelas bukan saya :D
Dan anehnya, saya juga bisa jatuh sayang sama anak-anak tertentu.
Anak berumur hampir 11 tahun yang masih duduk di kelas 2 SD, tidak jelas bicaranya, dan beeeeerlari-lari ke sana ke mari waktu diperiksa. Anak yang mengecoh teman saya dan bersembunyi di bawah meja waktu sedang diperiksa. Anak dengan rambut berantakan dan bekas ingus di hidungnya yang selalu menyapa saya riang, "Kakak!" dan melambaikan tangan dari dalam kelas lalu sepulang sekolah menggandeng erat lengan saya berjalan menuju rumahnya sambil bercerita ini dan itu. Anak yang bolak-balik berjalan melewati saya dan teman-teman saya sambil tersenyum menyapa, "Ibu..". Anak perempuan berpipi gembil yang sering berdiri bengong menghadapi bukunya di kelas. ..dan sekian anak lain yang akan saya temui nanti :)
Saya seorang calon psikolog sekolah,
dan tentang anak-anak SD inilah hati saya paling berdebar-debar. Belum pergi ke sekolah saja saya semacam bisa merasakan sakitnya kepala mendengar teriakan-teriakan dengan suara tinggi di sekitar saya. Hahaha payah ya..
Oke, anggap saja ke-nggak terlalu suka-an saya sama anak kecil cuma selapis pagar duri di atar tembok tinggi yang bisa menghambat saya. Cuma salah satu lapis, lho, karena sungguh jadi psikolog itu nggak mudah. Lalu bagaimana?
Semoga selalu ada matahari yang menyetok kehangatan di hati saya. Saya sih masih nggak berani mengklaim akan jadi jalan terang buat orang lain, mungkin nggak akan pernah berani juga, tapi saya mau kehangatan yang saya punya bisa membantu orang lain melelehkan kebekuan-kebekuan di dalam dan sekitar dirinya supaya potensi di balik kebekuan itu bisa bikin hidupnya lebih nyaman. Semoga selalu ada matahari yang apinya menggemuruh di hati saya, melelehkan kebekuan-kebekuan yang bisa menghambat saya menyentuh dan membantu orang lain. Kalaupun terpaksa tidak ada bantuan yang bisa saya berikan, semoga hati saya selalu punya kehangatan yang bisa memeluk hati orang lain - agar mereka merasa nyaman dan diterima.
Semoga selalu ada matahari di hati saya.
Agar saya mengejar kebaikan yang bisa diraih di setiap terbitnya.
Agar saya mengeja "Esok masih ada harapan!" di setiap silamnya.
Untuk saya. Untuk sekitar saya.
:)
0 komentar dari orang baik :):
Post a Comment