P
esan
awalan sy: siapapun yg berniat menjadi pimpinan lembaga kemahasiswaan tgkt UI
ataupun fakultas, terutama BEM FPsi, tlg pantau isu ini karena ini sangat
menyangkut nasib tata kelola UI dan dampaknya bagi mahasiswa. S
ekarang, dan beberapa
tahun yg akan datang.
Saya
akan coba review sedikit dari awal. Mohon jika ada yg menemukan kesalahan, tolong perbaiki. :)
B
lkgn,
masy dibuat heboh dg adanya pemberitaan pemberian gelar doctor honoris causa (DHC) yg dilakukan oleh rektor UI kpd Raja
Arab. P
emberian
gelar tsb ternyata menuai banyak kontroversi dan pandangan negatif baik dari
internal ataupun eksternal UI. A
lasannya? A
da beberapa faktor.
- Pemberian gelar tsb tdk melalui standar mekanisme yg berlaku. Pihak dosen & guru besar UI mengklaim tidak mengetahui adanya rencana itu.
- Ada anggapan bahwa Raja Arab belum memiliki jasa yg luar biasa dlm bidang kemanusiaan. malah sebaliknya.
- Pemberian gelar tsb dianggap tdk memerhatikan perasaan masy, khususnya para TKI dan keluarga, yg terluka akibat kasus pemancungan.
- Pemberian gelar DHC biasanya dilakukan di Indonesia. sdgkn skrg, pihak UI smp perlu repot-repot pergi ke arab untuk menyerahkannya.
Itulah
beberapa faktor inti yg dapat menjelaskan mengapa pemberian gelar DHC tsb
menuai begitu banyak kontroversi.
A
gar
berimbang, saya coba share sedikit argumen yg diberikan oleh rektor UI terkait
pemberian gelar DHC ini.
- Pemberian gelar tsb sudah melalui SOP yg ada mengenai DHC. Rencana ini sudah ada sejak 3 tahun yg lalu, bukan tiba-tiba. Namun karena sempat sakit dan baru mengiyakan sekarang, pemberian gelar tsb baru dilaksanakan sekarang pula.
- Raja Arab dianggap telah memiliki peran yg sangat besar di bidang kemanusiaan, seperti:
a. Telah melakukan modernisasi Islam dg mendirikan King Abdullah
University of
Science and Technology yg
memperbolehkan laki2 & perempuan kuliah di ruangan yg sama.
b. Telah mendukung pengembangan ekonomi yang berbasis energi terbarukan. Raja Arab mendanai riset-riset
terkait sains dan teknologi.
c. Telah mengembangkan dialog lintas agama antara Islam, Yahudi, dan Kristen. Raja Arab juga meyakinkan bahwa
terorisme bukanlah terkait dengan Islam, melainkan persoalan ketidakadilan.
d.
Dlm soal kemanusiaan, Raja Arab telah membentuk lembaga yg bergerak di
bidang tsb yg pernah membantu permasalahan di Aceh & Somalia.
Dari
kontroversi soal DHC ini lah, mulai timbul isu 'penggulingan rektor UI' dan ini
cukup marak diangkat oleh berbagai media. Bahkan, sempat diangkat dengan tema 'Sengkarut Rektor, Raja Arab, Ruyati'. Namun pendapat saya,
ketahuilah bahwa bukan itu sesungguhnya permasalahan besar yg ada di UI. Kasus pemberian gelar DHC
dan kontroversinya hanyalah merupakan turunan dari suatu masalah yg lebih besar
lg yg terjadi di UI. Permasalahan tsb adalah tata kelola
pemerintahan yg ada di UI.
Ya,
pengelolaan Universitas Indonesia yg tidak seharusnya akhir-akhir ini menjadi
masalah yg memiliki begitu banyak cabang dan dampak.
P
ada
pagi hari td di FE, dg cerdasnya P
rof.E
mil
S
alim membagi
kriteria tata kelola universitas yg baik menjadi beberapa poin.
- Pola manajemen yg transparan.
- Akuntabilitas dalam pelaksanaan.
- Partisipasi dari para penopang kepentingan dalam universitas.
- Berkembang subur sistem check and balances dalam pengelolaan universitas.
- Tumbuhnya suasana kreativitas bebas dari rasa ketakutan untuk berbeda pendapat dalam kampus-universitas.
Kondisi
UI kekinian masih belum sampai ke kriteria-kriteria tsb. Inilah inti
permasalahannya.
Hal
ini sebenarnya merupakan salah satu akibat dari ketidakjelasan status hukum UI
pasca pencabutan UU BHP pada tahun 2010 kemarin. Sebelumnya, pengelolaan dan status UI diatur oleh
PP no.152 tahun 2000. Pasca pencabutan UU BHP, lahir PP no.66 tahun 2010 yg menjelaskan
mengenai pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Namun, ternyata terjadi
multi-tasir pasal-pasal yg ada pada masa transisi status hukum universitas ini, dan ini memengaruhi
implementasi kebijakan rektorat di lapangan. Sbg contoh: pd masa transisi ini, MWA
di-demisioner-kan oleh rektorat krn poin mengenai organ2 di UI tdk dijelaskan
dg detil di PP 66 tsb. Padahal, seharusnya
MWA-lah yg berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan rektor.
Contoh-contoh
mengenai masalah tata kelola di UI ada begitu banyak. Ini soal good governance. Civitas mengharapkan itu
dari rektorat. Misal, tuntutan yg dibawa
oleh teman-teman dari gerakan mahasiswa peduli pendidikan (GMPP) yg melakukan
aksi pada tgl 17 kemarin yaitu (1)
tranparansi kebijakan, (2)
kesempatan berkuliah yg adil, dan
(3) evaluasi BOPB.
Inilah
yg perlu dikawal bersama oleh rekan-rekan sivitas. Tata kelola universitas yg
baik sesuai dg good governance. Sbg stakeholder di UI sudah selayaknya kita 'aware' dg
persoalan-persoalan ini, mengingat sebuah quote menarik, "Power tends to corrupt, and absolute
power corrupts absolutely" (Lord Acton). Jangan sampai hal semacam itu terjadi karena
semakin absolutnya kekuasaan rektor akibat dari status hukum yg tidak jelas
dsb.
Gerakan
yg sedang dibangun ini bukan sebuah gerakan yg bertujuan untuk pemakzulan,
bukan. Gerakan
ini dibangun atas harapan-harapan agar UI jatuh dari keterpurukan dan tetap
berlandaskan kemandirian moral.
Sekali
lagi, ini tidak hanya soal pemberian gelar DHC, tapi jauh lebih dari itu.
Mari
sama-sama kita bersatu untuk wujudkan UI yg lebih baik lagi. :)
---
Disunting tanpa mengubah isi dari tweets @atharasyadi pada 5 September 2011.
Muharram Atha Rasyadi (@atharasyadi) adalah Ketua BEM Fakultas Psikologi UI 2011