Pages

6.9.11

Untuk UI yang Lebih Baik - Gambaran Umum dari @atharasyadi



Pesan awalan sy: siapapun yg berniat menjadi pimpinan lembaga kemahasiswaan tgkt UI ataupun fakultas, terutama BEM FPsi, tlg pantau isu ini karena ini sangat menyangkut nasib tata kelola UI dan dampaknya bagi mahasiswa. Sekarang, dan beberapa tahun yg akan datang.

Saya akan coba review sedikit dari awal. Mohon jika ada yg menemukan kesalahan, tolong perbaiki. :)

Blkgn, masy dibuat heboh dg adanya pemberitaan pemberian gelar doctor honoris causa (DHC) yg dilakukan oleh rektor UI kpd Raja Arab. Pemberian gelar tsb ternyata menuai banyak kontroversi dan pandangan negatif baik dari internal ataupun eksternal UI. Alasannya? Ada beberapa faktor.
  1. Pemberian gelar tsb tdk melalui standar mekanisme yg berlaku. Pihak dosen & guru besar UI mengklaim tidak mengetahui adanya rencana itu.
  2. Ada anggapan bahwa Raja Arab belum memiliki jasa yg luar biasa dlm bidang kemanusiaan. malah sebaliknya.
  3. Pemberian gelar tsb dianggap tdk memerhatikan perasaan masy, khususnya para TKI dan keluarga, yg terluka akibat kasus pemancungan. 
  4. Pemberian gelar DHC biasanya dilakukan di Indonesia. sdgkn skrg, pihak UI smp perlu repot-repot pergi ke arab untuk menyerahkannya.
Itulah beberapa faktor inti yg dapat menjelaskan mengapa pemberian gelar DHC tsb menuai begitu banyak kontroversi.

Agar berimbang, saya coba share sedikit argumen yg diberikan oleh rektor UI terkait pemberian gelar DHC ini.
  1. Pemberian gelar tsb sudah melalui SOP yg ada mengenai DHC. Rencana ini sudah ada sejak 3 tahun yg lalu, bukan tiba-tiba. Namun karena sempat sakit dan baru mengiyakan sekarang, pemberian gelar tsb baru dilaksanakan sekarang pula.
  2. Raja Arab dianggap telah memiliki peran yg sangat besar di bidang kemanusiaan, seperti:
a.    Telah melakukan modernisasi Islam dg mendirikan King Abdullah University of Science and Technology yg memperbolehkan laki2 & perempuan kuliah di ruangan yg sama.
b.   Telah mendukung pengembangan ekonomi yang berbasis energi terbarukan. Raja Arab mendanai riset-riset terkait sains dan teknologi.
c.   Telah mengembangkan dialog lintas agama antara Islam, Yahudi, dan Kristen. Raja Arab juga meyakinkan bahwa terorisme bukanlah terkait dengan Islam, melainkan persoalan ketidakadilan.
d.      Dlm soal kemanusiaan, Raja Arab telah membentuk lembaga yg bergerak di bidang tsb yg pernah membantu permasalahan di Aceh & Somalia.

Dari kontroversi soal DHC ini lah, mulai timbul isu 'penggulingan rektor UI' dan ini cukup marak diangkat oleh berbagai media. Bahkan, sempat diangkat dengan tema 'Sengkarut Rektor, Raja Arab, Ruyati'. Namun pendapat saya, ketahuilah bahwa bukan itu sesungguhnya permasalahan besar yg ada di UI. Kasus pemberian gelar DHC dan kontroversinya hanyalah merupakan turunan dari suatu masalah yg lebih besar lg yg terjadi di UI. Permasalahan tsb adalah tata kelola pemerintahan yg ada di UI. Ya, pengelolaan Universitas Indonesia yg tidak seharusnya akhir-akhir ini menjadi masalah yg memiliki begitu banyak cabang dan dampak.

Pada pagi hari td di FE, dg cerdasnya Prof.Emil Salim membagi kriteria tata kelola universitas yg baik menjadi beberapa poin.
  1. Pola manajemen yg transparan.
  2. Akuntabilitas dalam pelaksanaan. 
  3. Partisipasi dari para penopang kepentingan dalam universitas.
  4. Berkembang subur sistem check and balances dalam pengelolaan universitas.
  5. Tumbuhnya suasana kreativitas bebas dari rasa ketakutan untuk berbeda pendapat dalam kampus-universitas.
Kondisi UI kekinian masih belum sampai ke kriteria-kriteria tsb. Inilah inti permasalahannya.

Hal ini sebenarnya merupakan salah satu akibat dari ketidakjelasan status hukum UI pasca pencabutan UU BHP pada tahun 2010 kemarin. Sebelumnya, pengelolaan dan status UI diatur oleh PP no.152 tahun 2000. Pasca pencabutan UU BHP, lahir PP no.66 tahun 2010 yg menjelaskan mengenai pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Namun, ternyata terjadi multi-tasir pasal-pasal yg ada pada masa transisi status hukum universitas ini, dan ini memengaruhi implementasi kebijakan rektorat di lapangan. Sbg contoh: pd masa transisi ini, MWA di-demisioner-kan oleh rektorat krn poin mengenai organ2 di UI tdk dijelaskan dg detil di PP 66 tsb. Padahal, seharusnya MWA-lah yg berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan rektor.

Contoh-contoh mengenai masalah tata kelola di UI ada begitu banyak. Ini soal good governance. Civitas mengharapkan itu dari rektorat. Misal, tuntutan yg dibawa oleh teman-teman dari gerakan mahasiswa peduli pendidikan (GMPP) yg melakukan aksi pada tgl 17 kemarin yaitu (1) tranparansi kebijakan, (2) kesempatan berkuliah yg adil, dan (3) evaluasi BOPB.

Inilah yg perlu dikawal bersama oleh rekan-rekan sivitas. Tata kelola universitas yg baik sesuai dg good governance. Sbg stakeholder di UI sudah selayaknya kita 'aware' dg persoalan-persoalan ini, mengingat sebuah quote menarik, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely" (Lord Acton). Jangan sampai hal semacam itu terjadi karena semakin absolutnya kekuasaan rektor akibat dari status hukum yg tidak jelas dsb.

Gerakan yg sedang dibangun ini bukan sebuah gerakan yg bertujuan untuk pemakzulan, bukan. Gerakan ini dibangun atas harapan-harapan agar UI jatuh dari keterpurukan dan tetap berlandaskan kemandirian moral. 

Sekali lagi, ini tidak hanya soal pemberian gelar DHC, tapi jauh lebih dari itu.

Mari sama-sama kita bersatu untuk wujudkan UI yg lebih baik lagi. :)

---
Disunting tanpa mengubah isi dari tweets @atharasyadi pada 5 September 2011.
Muharram Atha Rasyadi (@atharasyadi) adalah Ketua BEM Fakultas Psikologi UI 2011

0 komentar dari orang baik :):

 
Header Image from Bangbouh @ Flickr